Pakaian Minim Potongan, Kok Kagetan?

Beberapa hari, sebelum kami harus meninggalkan pesantren. Kami sempat bersilaturahim ke rumah guru – guru senior kami. Kami mendapatkan banyak wejangan tentang bagaimana kami harus menghadapi dunia luar pesantren, tentang masa depan, tentang masyarakat dan bahkan tentang sedu sedan kehidupan rumah tangga. Sengaja, bahkan sangat beruntung sekali untuk meluangkan senggang waktu kami untuk mendengar cerita dan pengalaman beliau semua. Indeks list pengalaman, lebih luas dan tentu terjal yang dihadapi lebih hebat. Maka dari itu, benar kata petuah lama. Orang – orang yang lebih lama hidupnya daripada kita itu, jauh lebih hebat. Karena banyak menghadapi lika – liku kehidupannya.

Ada satu pembahasan yang sangat menarik bagi kami. Tentang profil seorang alumni yang sengaja untuk menghilangkan identitasnya sebagai seorang santriwati. Umumnya, sebagai seorang santri tentu menjaga marwah-nya dengan berhijab bahkan berperilaku sholeh dan sholehah. Biasanya, jebolan pesantren itu selalu terlihat. Entah, bagaimnapun ia berusaha menutupi parasnya. Tapi, seakan kita bisa membaca di jidatnya: Saya alumni pesantren. Tidak bisa dipungkiri, meski berdempul lotion dan cushion. Ada saja gerak – gerik yang terbaca. Apalagi, jika memang ternyata satu almamater sekolah.

Singkat cerita, pernah salah satu alumni yang baru saja menuntaskan jihadnya nyantri, diajak nongkrong bersama kawan lamanya. Yang satunya berstatus pengabdian dalam pondok, alias harus menambah 5 – 6 tahun setelah tuntas sekolah. Sedangkan yang lain, hanya menuntaskan sebagai alumni MA atau sampai jenjang 3 SMA. Jelas, kultur dan tampangnya saja sudah berbeda. Status ustadz, akan terlihat lebih alim, daripada temannya satunya. Padahal, dalam urusan ilmu, pasti ada yang menjadi suatu standar dan kesamaan menurut usia mereka.

Santai, ketika diajak untuk ngopi dan sekedar ngobrol tipis – tipis. Datanglah, 2 orang perempuan. Tidak berhijab, untungnya dandanan dan penampilan sopan. Meskipun bibirnya berlapis gincu pipinya merah merona batu bata. Karena, dua laki – laki ini, dahulunya satu almamater. Mereka berdialog bahasa Arab, agar pembicaraannya tidak difahami oleh orang sekitarnya, tertuju pada dua perempuan ini. Lama setelah pembicaraan usai, perempuan ini hanya bermain mata dan senyum tertawa sinis, seperti mengejek tapi juga sok tidak tahu apa yang dibicarakan. Barulah, setelah itu. Dua – duanya meninggalkan.

“Kenapa, tadi cewek itu ketawa pas kita ngobrol?” Si alumni Ustadz ini bertanya pada teman ngopi-nya.

“Tebak, kenapa coba?” Kawannya hanya menimpali sambil menyeruput kopi yang diseduh sedari tadi.

“Emang, mereka siapa?” Ustadz itu kembali bertanya.

“Haha, mereka itu alumni pesantren kita juga. Alumni, sekitar tahun sekian. Mereka berdua, masih sangat faham dengan Bahasa Arab. Apalagi logat ente barusan. Pasti ngga percaya kan?”

“Hah? Beneran? Kok, pakaiannya minim – minim potongan?”

“Ngga usah kaget, Bro! Di luar, sudah tidak menjamin titel ustadz-mu itu!”

“Maksud ente?

“Ya, ente baru juga pulang, ketemu yang macem begitu, udah kagetan aja sih. Udahlah, pahamin aja sendiri!” Hanya dijawab tapi juga menusuk tulang rahang. Ustadz ini diam seketika.

*****

Setelah mendengar cerita seperti itu, kami sebagai santri, yang belum menetas sebagai alumni resmi, sangat – sangat tertampar. Malah, justru semakin khawatir. Apakah kiranya, kami akan bernasib seperti itu? Naudzubillah.

Bukan merasa sok suci, atau terlalu bangga dengan membawa nama pesantren. Apalagi, sombong kami bisa menjaga dan merawat nama baik pondok. Urusan seperti ini, memang jarang dan tidak pernah ditemukan. Kalaupun memang ada, mungkin sudah lama sekali kami akan diusir dari tempat kami belajar dan mengabdi. Sebisa mungkin, tidak usah untuk unjuk diri melabeli diri, bahwa jebolan pesantren akan selalu terjamin kesholehannya. Dan selamanya kita bisa memegang erat nilai – nilai yang diajarkan. Kalau hanya urusan pamer dan sok untuk mengenalkan diri, kami ini putra putri, sebagai alumni unggulan dari pesantren terbaik. Hati – hati, kita malah justru bisa terpental dari ajaran – ajaran yang bertahun tahun kita dapatkan. Semua itu tergantung dengan kesadaran dan hati kecil kita masing – masing. Tentu, suara hati kecil lah yang selalu menuntun menuju fitrah-Nya.

Mungkin, di dalam pesantren. Kita bisa menyadarkan dan mengingatkan satu sama lain. Kalau lupa daratan, mungkin bisa jadi kita adalah kacang yang lupa kulit. Sudah gitu, serabutan karena ngga tahu mau ikut madzhab trend yang mana.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *