Thalabu-l-‘Ilmi atau Thalabu-l-Fashli

Kemudahan teknologi dan uniknya fitur media sosial, membuat khalayak masyarakat hari ini semakin tergugah untuk membagikan identitas dirinya. Saling berbagi momen dan mengabadikan momen-momen yang belum sempat terulang di masa silam. Beberapa pekan terakhir ini sedang ramai tentang fitur berbagi balasan tentang pencapaian kelas selama duduk di bangku KMI. Ada yang membuat aneh dan menjadikan kritik sosial, tentang pencapaian kelas selama duduk di bangku kelas. Ternyata, pengaktifan sistem kasta yang tidak pernah kita sadari.

Setiap kuliah umum tentang Kepondokmodernan selama Pekan Perkenalan Khutbatul ‘Arsy (PKA). Kyai kami selalu menyampaikan dan meneguhkan sabda Rasulullah tentang pentingnya menuntut ilmu. “Thalabul ‘ilmi fariidhatun ‘alaa kulli muslimin” atau menuntut ilmu adalah suatu hal yang fardhu bagi setiap muslim. Bahwasanya menuntut ilmu dimanapun dan kapanpun, dan bagi siapapun. Menjadi sebuah kewajiban yang harus, karena tanpa adanya ilmu, maka iman tidak bisa kokoh. Apabila kokohnya ilmu, tanpa didasari iman niscaya merajalela sebuah kemunkaran. Maka, pendidikan dan juga pembelajaran adalah suatu hal yang sangat otentik, tidak bisa tertukar nilainya, walau habis ditelan zaman.

KMI adalah wujud dari sebuah keresahan Trimurti dan Kyai kami terhadap pergolakan zaman. Pesantren hadir, bukan hanya semata lembaga dengan sistem asrama dan Masjid sebagai titik pusat yang menjiwainya. Tetapi, pesantren berperan penting dalam kemajuan zaman dan menjawab pertanyaan-pertanyaan waktu di masa lampau tentang kemundurannya. Pendidikan dan pengajaran, adalah suatu paket yang tidak dapat dikotomi. Sering kali, esensi itu kita rasakan dalam pepatah, khairu ta’allumi, at-ta’liimu; sebaik-baiknya belajar adalah dengan mengajar. Bilamana kita berhenti belajar, maka siapa lagi yang akan mengajar. Ataupun bila kita tidak mau mengajar, kepada siapa lagi mereka akan mau belaajr? Itu sebab, sangat ajaib bila kita pandai tanpa belajar dari guru. Bilamana iya, hanyalah sedikit yang akan kita dapatkan. “… sedangkan kamu tidak diberi pengetahuan kecuali hanya sedikit.”

Kemudian, setelah kembali pada refleksi tentang catatan Kepondokmodernan yang kami dapatkan beberapa tahun silam. Kembali segar dan terbasuh kembali, ruh yang mulai kelabu dan mulai menghitam. Apakah hanya orang yang duduk di kelas atas, pantas untuk mendapatkan ilmu dan kembali mengajar? Apakah mereka yang duduk di kelas unggul saja, yang pantas mendapatkan keberkahan selama bertahun-tahun di Darussalam?

Lalu, sepantas apa predikat absen dan abjad kelas yang sempat diraih ketika duduk di bangku kelas?

Memang, angka absen dan juga abjad kelas menjadi hal istimewa. Selama berkiprah menjadi santri, duduk di bangku kelas B adalah sebuah pencapaian. Merasakan banyak privilese yang mungkin tidak didapatkan teman-teman yang lainnya. Kemungkinan untuk bisa menjabat kepanitiaan, mendapat kepercayaan untuk bisa mengikuti banyak aktivitas, meraup sanjungan dan pujian. Iya, siapa yang tak mau? Siapa yang tak suka? Semua orang hanya menyebut nama-nama santri di kelas atas, di saat santri yang kurang memiliki keberuntungan itu hanya duduk berpangku tangan dan sibuk belajar, menghafal, membaca kitab-kitab. Kami yang kurang beruntung itu, hanya disibukkan dengan tidur di dalam kamar, sedangkan mereka bisa mendapat dispensasi karena amanat kepanitiaan. Alih-alih, lebih apes lagi. Bahwa sering kali mendapat tuduhan pelanggaran, karena tidak dapat melaksanakan kewajiban. Banyak hal yang menjadi ketimpangan, sehingga pantas saja bilamana bisa duduk di bangku kelas atas, adalah hal yang amat-amat didambakan.

Lambat laun, masa belajar di KMI telah usai. Pengabdian menjadi guru di kampus atau alumni telah purna. Seketika, mengingat perjuangan ketika menimba ilmu di Darussalam, diingatkan dengan tren balasan Instagram. Beberapa teman dan alumni pasti mengerti dan sadar, tentang lika-liku perjalanan di KMI. Banyak dari rekan ikut berbagi, ketika menilik cerita Instagram. Banyak dari mereka yang menulis secara eksplisit, pernah duduk di bangku kelas atas. Sedangkan, teman-teman yang pernah tinggal kelas, atau hanya duduk di bangku kelas abjad akhir-an, malas menambahkan cerita. Ternyata, setelah mencoba dengan hasil penelusuran, kelas di Gontor adalah kasta. Siapa yang pernah duduk di bangku kelas atas, tanda bahwa ia pernah menjadi cerdas. Semakin tinggi angka absen, semakin cerdas pula diakui guru-guru dengan kemampuannya. Iya, ternyata esensi menuntut ilmu yang sesungguhnya itu memudar.

Ketika sudah berada di dunia dan ladang perjuangan sesungguhnya. Seharusnya kita bisa sadar. Bahwa selama ini, perjuangan menuntut ilmu itu bukan hanya dihargai dengan sebatas lembar ijazah dan nilai di kasyfu darajah. Ternyata, selama ini kita tidak pernah ditanya tentang pengalaman kita duduk di bangku kelas apa dan absen nomor berapa? Juga tidak pernah ditanya, menjabat sebagai ketua panitia apa saja. Kalaupun iya, pertanyaan itu hanya terlintas saat perkumpulan alumni dengan segelintir orang saja. Kepernahan-kepernahan yang ditanyakan, adalah seberapa banyak kamu menghabiskan waktu dalam berjuang?

Pertanyaan-pertanyaan yang merujuk pada tujuan global.

Apakah sama orang yang berfikir dengan yang tidak berfikir?
Apakah sama, orang yang mengerti perjuangan dengan yang tidak?
Apakah sama, orang yang ikhlas dengan yang tidak?

Masyarakat hari ini, tidak pernah bertanya:
Apakah sama, santri yang duduk di kelas B dengan santri yang duduk di kelas M, N, O?

Terdiam sejenak, lalu memperbarui refleksi selama menimba ilmu di Darussalam. Ya, benar kata Kiai kami setiap kali kuliah umum Kepondokmodernan: Banyak orang yang bertitel, tapi tidak berkarakter. Banyak sekali orang-orang yang mendapat pangkat, tetapi kehilangan jati diri. Orang-orang yang dahulu duduk di kelas atas, tapi sungguh ternodai di masyarakat karena kehilangan nilai-nilai yang menjiwainya. Pun, sebaliknya. Banyak dari mereka yang kurang beruntung saat menjadi santri, duduk di kelas bawah atau nasib menjadi mu’iddah atau pernah tinggal kelas. Tetapi menjadi orang yang bermanfaat bagi masyarakat.

Patokan kelas, bukan menjadi standar ketika kita sudah berjuang di masyarakat yang lebih luas. Dalam hal ini, juga dikatakan. Bukan berarti kita tak berhak menjadi orang yang bertitel, asalkan kita bisa menjadi orang berkarakter. Bukan, tetaplah berjuang dengan apa yang kita punya, jadilah orang berilmu, jadilah orang yang bertitel, jadilah orang yang berkarakter.

Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keberuntunganmu.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *